n
Putusan MA RI No. 7 k/Sip/1973, tgl. 27
Februari 1975,” Tidak ada batas waktu daluarsa dalam menggugat harta warisan “.
Jumat, 22 November 2013
Tuntutan Provisionil
n
Putusan MA RI No. 1070k /Sip / 1972, tgl. 7
Mei 1973, “Tuntutan provisionil yang tercantum dalam pasal 180 HIR hanyalah
untuk memperoleh tindakan-tindakan sementara selama proses berjalan; tuntutan
provisionil yang mengenai pokok perkara tidak dapat diterima “.
n
Putusan MARI No. 1400k/Sip/1974, tgl. 18
Nopember 1975, “Perbedaan hakim-hakim anggota dalam pemeriksaan tuntutan
provisionil dan dalam pemeriksaan pokok perkara adalah tidak mengakibatkan
batalnya seluruh putusan karena tuntutan provisionil sifatnya mempermudah
pemeriksaan dalam pemutusan pokok perkara”.
n
Putusan MA RI No. 753k/ Sip/ 1973, tgl. 22
April 1975, “Keberatan yang diajukan Penggugat untuk Kasasi; bahwa
Pengadilan Negeri telah menjatuhkan putusan sela yang merupakan putusan
provisionil menyimpang dan melebihi dari surat gugatan, sebab tuntutan
provisionil semacam itu tidak pernah diajukan oleh Penggugat asal, tidak dapat diterima
karena hal itu menyebabkan batalnya putusan judex facti”.
n
Putusan MA RI No. 279k/Sip/1976, tgl. 5 Juli
1976, “Permohonan provisi seharusnya bertujuan agar ada tindakan hakim yang
mengenai pokok perkara; permohonan provisi yang berisikan pokok perkara
harus ditolak”.
Para Pihak Harus Lengkap
n Putusan
MA RI No. 663k/Sip/1971, tgl. 6 Agustus 1971 Jo. Putusan MARI No.
1038k/Sip/1972, tgl. 1 Agustus 1973, “Turut Tergugat adalah seseorang
yang tidak menguasai sesuatu barang akan tetapi demi formalitas gugatan harus
dilibatkan guna dalam petitum sebagai pihak yang tunduk dan taat pada putusan
hakim perdata.”
Ne bis in idem
Unsur-unsur nebis in idem :
- Objek tuntutan sama
- Alasan yang sama
- Subjek gugatan sama
n Putusan
MA RI No. 144 k/Sip/1973, tgl. 27 Juni 1973, “Putusan declaratoir
Pengadilan Negeri mengenai penetapan ahli waris/ warisan bukan merupakan nebis
in idem”.
n Putusan
MA RI No. 102 k/Sip/1968, “Bila ternyata pihak-pihak berbeda dengan
pihak-pihak dalam perkara yang sudah diputus terlebih dahulu, maka tidak ada
nebis in idem”.
Dwangsom (uang paksa), Ps. 225 HIR jo 1267 BW
n Putusan
MA RI No. 307k /Sip/1976, tgl. 7 Desember 1976, “Dwangsom akan ditolak
apabila putusan dapat dilaksanakan dengan eksekusi riil”
n Putusan MA RI No. 79k/Sip/1972, “ Dwangsom
tidak dapat dituntut bersama –sama dengan tuntutan membayar uang”
Hubungan Posita dan Petitum
n Putusan
MARI No. 67 k/Sip/1975, tgl. 13 Mei 1975, “ Petitum tidak sesuai
dengan posita, maka permohonan kasasi dapat diterima dan putusan Pengadilan
Tinggi dan Pengadilan Negeri dibatalkan”.
n Putusan
MA RI No. 556 k/Sip/1971, tgl. 10 November 1971 jo Putusan MA RI No. 1245 k/Sip/1974,tgl. 9 November 1976,
“Putusan yang mengabulkan lebih dari yang dituntut, diizinkan selama hal itu
masih sesuai dengan keadaan materil, asal tidak menyimpang daripada apa yang
dituntut dan putusan yang hanya meminta sebagian saja, sesuai putusan MA No.
339 k/Sip/1969
Objek Perkara Harus Jelas
n Putusan
MA RI No. 565 k/Sip/1973, tgl. 21 Agustus 1974, “Kalau objek gugatan
tidak jelas, maka gugatan tidak dapat diterima”.
n Putusan
MA RI No. 1149 k/Sip/1979, tgl. 17 April 1979, “Bila tidak jelas
batas-batas tanah sengketa, maka gugatan tidak dapat diterima”.
Minggu, 17 November 2013
Tiga Kali Sama, Putusan MK Jadi Yurisprudensi Tetap.
Ahli pemerintah
berpendapat Hakim MK mesti terikat dengan putusan
terdahulu yang
sudah terulang hingga tiga kali. Permoionan uji materi
dianggap hanya
mubazir sebab putusan sudah bisa ditebak.
Ada sentilan
unik dari ahli pemerintah dalam sidang uji materi
Undang-undang
Nomor 25 Tahun 2007 tentang Penanaman Modal
pada awal pekan
lalu. Ismail Sunny, Guru Besar Tata Negara
Universitas
Indonesia mengatakan, mengajukan uji materiil UUPM
adalah tindakan
mubazir. Sebab, Mahkamah Konstitusi (MK) sudah
pernah memutus
perkara serupa yang menafsirkan Pasal 33 UUD 1945
tentang Hak
Menguasai Negara. MK juga sudah memakai penafsiran
itu selama tiga
kali dalam tiga putusan mereka sehingga sudah
menjadi
yurisprudensi tetap (faste
jurisprudence).
Adanya ini
(permohonan,red) sudah menjadi pertanyaan bagi saya.
Mengapa ada ini?
Padahal sudah tiga kali Mahkamah Konstitusi itu, dia
sudah tidak bisa
putusan lain, dia sudah menciptakan dengan dua kali
saja, sudah
tercipta faste jurisprudensi, ujar Sunny saat memberi
keterangan di
ruang sidang utama MK, Senin, awal pekan lalu.
Putusan yang
dimaksud Sunny adalah putusan permohonan judicial
review UU No.20 /2003 tentang Ketenagalistrikan Nomor
001-021-022/PUU-I/2003,
UU No.22 /2001 tentang Minyak dan Gas
Bumi Nomor
002/PUU-I/2003, dan Putusan Uji materi UU No.7 Tahun
1 / 5
Yurisprudensi ADELIN LIS
Sebenarnya
Putusan Kasasi Adelin Lis ini sudah dijatuhkan sejak 31 Juli 2008.
Akan
tetapi karena masalah klasik lambatnya proses transkip dan pengetikan putusan
di Mahkamah Agung, maka salinan putusan online baru bisa diakses pada awal
Februari 2009.
Putusan
ini menegaskan banyak perdebatan seputar dapat/tidak Pembalakan Liar dijerat
dengan UU Korupsi (selain UU Kehutanan). Meskipun beberapa Hakim Agung yang
menjadi majelis pada Kasasi MA dinilai kontroversial dalam beberapa tindakan
dan putusannya, akan tetapi khusus Putusan Adelin Lis ini, secara material
patut diapresiasi. Bahkan, penting didorong untuk menjadi Yurisprudensi Tetap
agar menjadi acuan bagi hakim di seluruh Indonesia.
Dalam
kerangka perlindungan hutan, sebagai alternatif penting menjerat pelaku utama
pembalakan liar, UU Korupsi dinilai merupakan senjata yang cukup ampuh.
Pimpinan
MA saat ini merupakan salah satu majelis hakim dalam proses Kasasi Adelin Lis.
Dan, satu lainnya termasuk jajaran petinggi di institusi kekuasaan kehakiman
tersebut. Sehingga, jika Ketua MA konsisten dalam pemberantasankorupsi dan
illegal logging tentu pertimbangan putusan ini seharusnya diproses untuk
menjadi sebuah YURISPRUDENSI TETAP. Harapannya, proses peradilan kasus
kehutanan yang dijerat UU Korupsi dan Kehutanan dapat mengacu pada pertimbang-pertimbangan
putusan Kasasi Adelin Lis.
Setidaknya ada 5 hal krusial dalam Putusan tersebut:
1.
Menteri Kehutanan dan Kepolisian RI tidak punya
kompetensi untuk mengatakan sebuah perbuatan bukan tindak pidana, karena hal
itu hanya dapat dijerat oleh sanksi administratif atau denda.
2.
Penebangan Diluar RKT
melanggar kewajiban PT. KNDI, masuk kategori MELAWAN HUKUM
3.
Pelanggaran hukum
administrasi menurut MA memenuhi UNSUR MELAWAN HUKUM dalam Pidana Korupsi,
seperti disyaratkan Pasal 2 dan 3 UU 31/1999 jo UU 20/2001 (UU Tindak Pidana
Korupsi).
4.
KERUGIAN KEUANGAN NEGARA
diartikan = Nilai Kayu Bulat yang diperoleh secara Illegal + PSDH + Dana
Reboisasi (berdasarkan Audit BPKP Porv. Sumut)
5.
Diterapkannya asas Concursus
Idealis, seperti diatur pada Pasal 63 ayat (1) KUHP.
Untuk
perincian, silahkan lihat Review singkat dalam bentuk tabulasi dibawah ini.
Semoga
bermanfaat.
Yurisprudensi
Untuk
mewujudkan suatu kepastian dan keadilan hukum tentunya harus menyelaraskan
antara substansi hukum, struktur hukum dan kultur hukum dengan hukum yang
dibutuhkan masyarakat. Realitas objektif didalam kehidupan sehari-hari, sering
kali terjadi benturan antara materi hukum (substansi) dengan kebutuhan hukum
masyarakat yang terkadang belum terakomodir dalam hukum positif Indonesia. Asas
legalitas yang menjadi salah satu ciri negara hukum dimana suatu perbuatan
dapat dikenakan sanksi apabila telah ada pengaturannya. Prinsip asas legalitas
tersebut tentunya harus dipatuhi oleh para hakim pada saat menyusun putusan
pengadilan. Namun, pada prakteknya seorang hakim diberikan kebebasan untuk
menggali, mengikuti, dan memahami nilai-nilai hukum dan rasa keadilan dalam
masyarakat (berdasarkan Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2004 tentang Kekuasaan
Kehakiman) yakni dengan menelaah kembali sumber-sumber hukum yang berlaku.
Adanya ruang kebebasan bagi hakim tentunya sangat berpengaruh dalam menemukan
dasar pertimbangan hukum apabila dirasakan belum cukup hanya dengan menggunakan
undang-undang.
Dan
Yurisprudensi disini merupakan salah satu sumber-sumber hukum yang berlaku.
Dimana Yurisprudensi diartikan sebagai setiap putusan hakim (pengadilan) terdahulu yang telah memiliki kekuatan hukum
yang tetap dimana putusan itu dijadikan sebagai pedoman oleh hakim kemudian
didalam memutus suatu perkara (Azas Preleden). Yurisprudensi dibedakan antara lain :
1.
Yurisprudensi Tetap : yakni putusan hakim
yang terjadi karena rangkaian putusan serupa menjadi dasar atas putusan untuk
memutuskan suatu perkara (Standard Arresten).
2.
Yurisprudensi Tidak Tetap : yakni putusan hakim terdahulu yang tidak merupakan standard Arresten.
Langganan:
Postingan (Atom)