Kritik & saran positif silakan di email abd.kholik99@gmail.com / abd.kholik67@yahoo.com

Jumat, 22 November 2013

Tuntutan Warisan-Daluarsa

n  Putusan MA RI No. 7 k/Sip/1973, tgl. 27 Februari 1975,” Tidak ada batas waktu daluarsa dalam menggugat harta warisan “.

Tuntutan Provisionil

n  Putusan MA RI No. 1070k /Sip / 1972, tgl. 7 Mei 1973, “Tuntutan provisionil yang tercantum dalam pasal 180 HIR hanyalah untuk memperoleh tindakan-tindakan sementara selama proses berjalan; tuntutan provisionil yang mengenai pokok perkara tidak dapat diterima “.

n  Putusan MARI No. 1400k/Sip/1974, tgl. 18 Nopember 1975, “Perbedaan hakim-hakim anggota dalam pemeriksaan tuntutan provisionil dan dalam pemeriksaan pokok perkara adalah tidak mengakibatkan batalnya seluruh putusan karena tuntutan provisionil sifatnya mempermudah pemeriksaan dalam pemutusan pokok perkara”.

n  Putusan MA RI No. 753k/ Sip/ 1973, tgl. 22 April 1975, “Keberatan yang diajukan Penggugat untuk Kasasi; bahwa Pengadilan Negeri telah menjatuhkan putusan sela yang merupakan putusan provisionil menyimpang dan melebihi dari surat gugatan, sebab tuntutan provisionil semacam itu tidak pernah diajukan oleh Penggugat asal, tidak dapat diterima karena hal  itu  menyebabkan batalnya putusan judex facti”.

n  Putusan MA RI No. 279k/Sip/1976, tgl. 5 Juli 1976, “Permohonan provisi seharusnya bertujuan agar ada tindakan hakim yang mengenai pokok perkara; permohonan provisi yang berisikan pokok perkara harus ditolak”.





Para Pihak Harus Lengkap

n      Putusan MA RI No. 663k/Sip/1971, tgl. 6 Agustus 1971 Jo. Putusan MARI No. 1038k/Sip/1972, tgl. 1 Agustus 1973, “Turut Tergugat adalah seseorang yang tidak menguasai sesuatu barang akan tetapi demi formalitas gugatan harus dilibatkan guna dalam petitum sebagai pihak yang tunduk dan taat pada putusan hakim perdata.”

Ne bis in idem

Unsur-unsur nebis in idem :
- Objek tuntutan sama
- Alasan yang sama
- Subjek gugatan sama

n  Putusan MA RI No. 144 k/Sip/1973, tgl. 27 Juni 1973, “Putusan declaratoir Pengadilan Negeri mengenai penetapan ahli waris/ warisan bukan merupakan nebis in idem”.

n  Putusan MA RI No. 102 k/Sip/1968, “Bila ternyata pihak-pihak berbeda dengan pihak-pihak dalam perkara yang sudah diputus terlebih dahulu, maka tidak ada nebis in idem”.

Dwangsom (uang paksa), Ps. 225 HIR jo 1267 BW

n  Putusan MA RI No. 307k /Sip/1976, tgl. 7 Desember 1976, “Dwangsom akan ditolak apabila putusan dapat dilaksanakan dengan eksekusi riil

n  Putusan  MA RI No. 79k/Sip/1972, “ Dwangsom tidak dapat dituntut bersama –sama dengan tuntutan membayar uang”

Hubungan Posita dan Petitum

n  Putusan MARI No. 67 k/Sip/1975, tgl. 13 Mei 1975, Petitum tidak sesuai dengan posita, maka permohonan kasasi dapat diterima dan putusan Pengadilan Tinggi dan Pengadilan Negeri dibatalkan”.

n  Putusan MA RI No. 556 k/Sip/1971, tgl. 10 November 1971 jo Putusan MA RI  No. 1245 k/Sip/1974,tgl. 9 November 1976, “Putusan yang mengabulkan lebih dari yang dituntut, diizinkan selama hal itu masih sesuai dengan keadaan materil, asal tidak menyimpang daripada apa yang dituntut dan putusan yang hanya meminta sebagian saja, sesuai putusan MA No. 339 k/Sip/1969 

Objek Perkara Harus Jelas

n Putusan MA RI No. 565 k/Sip/1973, tgl. 21 Agustus 1974, “Kalau objek gugatan tidak jelas, maka gugatan tidak dapat diterima”.

n  Putusan MA RI No. 1149 k/Sip/1979, tgl. 17 April 1979, “Bila tidak jelas batas-batas tanah sengketa, maka gugatan tidak dapat diterima”.

Minggu, 17 November 2013

Tiga Kali Sama, Putusan MK Jadi Yurisprudensi Tetap.

Ahli pemerintah berpendapat Hakim MK mesti terikat dengan putusan
terdahulu yang sudah terulang hingga tiga kali. Permoionan uji materi
dianggap hanya mubazir sebab putusan sudah bisa ditebak.
Ada sentilan unik dari ahli pemerintah dalam sidang uji materi
Undang-undang Nomor 25 Tahun 2007 tentang Penanaman Modal
pada awal pekan lalu. Ismail Sunny, Guru Besar Tata Negara
Universitas Indonesia mengatakan, mengajukan uji materiil UUPM
adalah tindakan mubazir. Sebab, Mahkamah Konstitusi (MK) sudah
pernah memutus perkara serupa yang menafsirkan Pasal 33 UUD 1945
tentang Hak Menguasai Negara. MK juga sudah memakai penafsiran
itu selama tiga kali dalam tiga putusan mereka sehingga sudah
menjadi yurisprudensi tetap (faste jurisprudence).
Adanya ini (permohonan,red) sudah menjadi pertanyaan bagi saya.
Mengapa ada ini? Padahal sudah tiga kali Mahkamah Konstitusi itu, dia
sudah tidak bisa putusan lain, dia sudah menciptakan dengan dua kali
saja, sudah tercipta faste jurisprudensi, ujar Sunny saat memberi
keterangan di ruang sidang utama MK, Senin, awal pekan lalu.
Putusan yang dimaksud Sunny adalah putusan permohonan judicial
review UU No.20 /2003 tentang Ketenagalistrikan Nomor
001-021-022/PUU-I/2003, UU No.22 /2001 tentang Minyak dan Gas
Bumi Nomor 002/PUU-I/2003, dan Putusan Uji materi UU No.7 Tahun
1 / 5

Yurisprudensi ADELIN LIS

Sebenarnya Putusan Kasasi Adelin Lis ini sudah dijatuhkan sejak 31 Juli 2008.
Akan tetapi karena masalah klasik lambatnya proses transkip dan pengetikan putusan di Mahkamah Agung, maka salinan putusan online baru bisa diakses pada awal Februari 2009.
Putusan ini menegaskan banyak perdebatan seputar dapat/tidak Pembalakan Liar dijerat dengan UU Korupsi (selain UU Kehutanan). Meskipun beberapa Hakim Agung yang menjadi majelis pada Kasasi MA dinilai kontroversial dalam beberapa tindakan dan putusannya, akan tetapi khusus Putusan Adelin Lis ini, secara material patut diapresiasi. Bahkan, penting didorong untuk menjadi Yurisprudensi Tetap agar menjadi acuan bagi hakim di seluruh Indonesia.
Dalam kerangka perlindungan hutan, sebagai alternatif penting menjerat pelaku utama pembalakan liar, UU Korupsi dinilai merupakan senjata yang cukup ampuh. 
Pimpinan MA saat ini merupakan salah satu majelis hakim dalam proses Kasasi Adelin Lis. Dan, satu lainnya termasuk jajaran petinggi di institusi kekuasaan kehakiman tersebut. Sehingga, jika Ketua MA konsisten dalam pemberantasankorupsi dan  illegal logging tentu pertimbangan putusan ini seharusnya diproses untuk menjadi sebuah YURISPRUDENSI TETAP. Harapannya, proses peradilan kasus kehutanan yang dijerat UU Korupsi dan Kehutanan dapat mengacu pada pertimbang-pertimbangan putusan Kasasi Adelin Lis.
Setidaknya ada 5 hal krusial dalam Putusan tersebut:
1.      Menteri Kehutanan dan Kepolisian RI tidak punya kompetensi untuk mengatakan sebuah perbuatan bukan tindak pidana, karena hal itu hanya dapat dijerat oleh sanksi administratif atau denda.
2.     Penebangan Diluar RKT melanggar kewajiban PT. KNDI, masuk kategori MELAWAN HUKUM
3.     Pelanggaran hukum administrasi menurut MA memenuhi UNSUR MELAWAN HUKUM dalam Pidana Korupsi, seperti disyaratkan Pasal 2 dan 3 UU 31/1999 jo UU 20/2001 (UU Tindak Pidana Korupsi).
4.     KERUGIAN KEUANGAN NEGARA diartikan = Nilai Kayu Bulat yang diperoleh secara Illegal + PSDH + Dana Reboisasi (berdasarkan Audit BPKP Porv. Sumut)
5.     Diterapkannya asas Concursus Idealis, seperti diatur pada Pasal 63 ayat (1) KUHP.
Untuk perincian, silahkan lihat Review singkat dalam bentuk tabulasi dibawah ini.
atau,Putusan bisa diakses, silahkan klik: Putusan Kasasi Adelin Lis
Semoga bermanfaat.

Yurisprudensi


Untuk mewujudkan suatu kepastian dan keadilan hukum tentunya harus menyelaraskan antara substansi hukum, struktur hukum dan kultur hukum dengan hukum yang dibutuhkan masyarakat. Realitas objektif didalam kehidupan sehari-hari, sering kali terjadi benturan antara materi hukum (substansi) dengan kebutuhan hukum masyarakat yang terkadang belum terakomodir dalam hukum positif Indonesia. Asas legalitas yang menjadi salah satu ciri negara hukum dimana suatu perbuatan dapat dikenakan sanksi apabila telah ada pengaturannya. Prinsip asas legalitas tersebut tentunya harus dipatuhi oleh para hakim pada saat menyusun putusan pengadilan. Namun, pada prakteknya seorang hakim diberikan kebebasan untuk menggali, mengikuti, dan memahami nilai-nilai hukum dan rasa keadilan dalam masyarakat (berdasarkan Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2004 tentang Kekuasaan Kehakiman) yakni dengan menelaah kembali sumber-sumber hukum yang berlaku. Adanya ruang kebebasan bagi hakim tentunya sangat berpengaruh dalam menemukan dasar pertimbangan hukum apabila dirasakan belum cukup hanya dengan menggunakan undang-undang.
Dan Yurisprudensi disini merupakan salah satu sumber-sumber hukum yang berlaku. Dimana Yurisprudensi diartikan sebagai setiap putusan hakim (pengadilan) terdahulu yang telah memiliki kekuatan hukum yang tetap dimana putusan itu dijadikan sebagai pedoman oleh hakim kemudian didalam memutus suatu perkara (Azas Preleden). Yurisprudensi dibedakan antara lain :
1.     Yurisprudensi Tetap : yakni putusan hakim yang terjadi karena rangkaian putusan serupa menjadi dasar atas putusan untuk memutuskan suatu perkara (Standard Arresten).
2.     Yurisprudensi Tidak Tetap : yakni putusan hakim terdahulu yang tidak merupakan standard Arresten.