Lebih dari 500 orang meregang nyawa setiap tahun di jalan raya.
Pengendara seringkali alpa. Bahkan alpa terhadap ancaman hukuman.
Ada banyak pekerjaan rumah bagi pemerintahan baru, di bawah Joko Widodo
dan Jusuf Kalla. Salah satunya membenahi transportasi dengan segala
infrastrukturnya. Infrastruktur yang tak memadai, seringkali menggunakan
pola kebut proyek, menjadi salah satu penyumbang kecelakaan di jalanan.
Meskipun demikian, faktor manusia jauh lebih menentukan disbanding
infrastruktur atau kelaikan kendaraan. Manusialah yang mengendalikan dan
mengendarai moda transportasi itu. Sebagian besar karena ulah manusia
pula setiap hari nyawa melayang sia-sia di atas jalanan. Mobilitas
massal seperti lebaran seolah menjadi ladang penghilangan nyawa.
Bayangkan, saat lebaran 2014
(hingga H+5) saja tercatat tak kurang dari 2.595 kecelakaan,
mengakibatkan korban meninggal dunia 598 orang, korban luka berat 831
orang, dan luka ringan 3.270 orang. Jumlahnya sudah pasti bertambah
karena angka ini hanya yang tercatat di Posko Lebaran Sehat Kementerian
Kesehatan. Lagipula, jumlah ini lebih rendah dibanding tahun sebelumnya.
Lepas dari berapa jumlah pasti korban kecelakaan setiap tahun, yang
jelas tak sedikit bermuara ke pengadilan. Di pengadilan, pelaku yang
lalai dijerat dengan Pasal 359 KUHP. Bahkan setelah UU Lalu Lintas dan
Angkutan Jalan (UU No. 22 Tahun 2009) berlaku pun Pasal 359 KUHP masih sering dipakai polisi dan jaksa.
Pasal 359 KUHP menyatakan: “Barangsiapa karena kesalahannya
menyebabkan matinya orang dihukum penjara selama-lamanya lima tahun atau
kurungan selama-lamanya satu tahun”. Ini berkaitan dengan Pasal 360 ayat (1) dan (2) dengan akibat yang berbeda. Ayat satu mengenai akibat luka berat,
sedangkan ayat (2) akibatnya adalah luka sedemikian rupa. Nomenklatur
putusan Mahkamah Agung menggunakan sebutan kealpaan mengakibatkan
kematian/luka.
Menurut R. Soesilo (1996), kematian dalam konteks Pasal 359 KUHP tidak
dimaksudkan sama sekali oleh pelaku. Kematian tersebut hanya merupakan
akibat kurang hati-hati atau lalainya terdakwa (delik culpa). Jika
kematian itu dikehendaki terdakwa, maka pasal yang pas adalah 338 atau
340 KUHP.
Menurut SR Sianturi (1983), kealpaan pada dasarnya adalah
kekuranghati-hatian atau lalai, kurang waspada, semberono, teledor,
kurang menggunakan ingatan, khilaf. Sekiranya dia hati-hati, waspada,
tertib atau ingat, peristiwa kecelakaan itu tidak akan terjadi atau bisa
dicegah.
Jika dikaitkan dengan teori kesalahan dalam hukum pidana, pertanyaan
dasar yang layak dikemukakan adalah siapa yang bersalah dalam kecelakaan
lalu lintas. Siapa saja yang dapat dimintai tanggung jawab hukum dalam
kecelakaan yang timbul karena kealpaan? Secara kasuistik, cukup banyak
putusan pengadilan yang relevan diajukan, dan sopir tak selu pelaku tunggal.
Misalnya, putusan Mahkamah Agung No. 354K/Kr/1980 dan putusan No.
205K/Kr/1980. Dua putusan ini menekankan bahwa kesalahan korban tidak
menghapus penuntutan terhadap terdakwa.
Putusan Hoogeraad 15 Februari 1932 juga patut dikemukakan. Menurut
yurisprudensi yang dikutip R. Soenarto Soerodibroto (2009) ini,
barangsiapa mengendarai sebuah mobil, sedangkan ia tidak dapat
memperhitungkan akibat-akibat yang mungkin timbul karena telah minum
alcohol terlalu banyak telah berbuat ceroboh dan tidak hati-hati. Pelaku
semacam ini dapat dimintai tanggung jawab terhadap akibat yang timbul
karena perbuatannya. Salah satu contoh putusan yang relevan dengan kasus
ini adalah Afriyani Susanti. Menabrak sejumlah pejalan kaki dan
menyebabkan kematian di Jalan Ridwan Rais Jakarta, Afriyani akhirnya
divonis 15 tahun penjara.
Dalam perkembangannya, perdamaian pelaku dan keluarganya dengan
keluarga korban sudah dianggap sebagai salah satu unsur yang
‘meringankan’. Dalam kasus kecelakaan yang melibatkan anak Menteri Perekonomian (saat itu) Hatta Radjasa dan kasus AQJ, hakim jelas-jelas menempatkan perdamaian pelaku dengan keluarga korban dalam kedudukan yang tinggi.
Dalam putusan Mahkamah Agung No. 1953K/Pid/1988, hakim mengatakan
pembayaran ganti kerugian tidak menghapuskan penuntutan kasasi. Dalam
putusan kasasi lainnya, No. 202K/Pid/1990, terungkap bahwa hukuman
terdakwa diperberat karena mengendarai kendaraan pada malam hari tanpa
lampu dan tanpa rem.
Soal kehati-hatian, menarik pula disinggung putusan Mahkamah Agung No.
1104K/Pid/1990. Dalam putusan ini, majelis kasasi mengkoreksi putusan
sebelumnya karena menilai terdakwa sudah berhati-hati. Kendaraan yang
dikemudikan terdakwa berada pada jalur yang benar, sehingga tak ada
unsur kelalaian/kesalahan pada diri terdakwa. Korban jatuh karena
terserempet pengendara lain, tetapi karena jatuh ke kanan, korban
tergilas mobil yang dikendarai terdakwa.
Dalam putusan No. 1827 K/Pid/1988, Mahkamah Agung bukan hanya menilai
kesalahan terdakwa karena kealpaan menyebabkan orang lain mati, tetapi
juga pelanggaran berupa ‘pengemudi yang mengemudikan kendaraan di jalan
umum tanpa memperhatikan ketentuan tentang perlengkapan’.
Intinya, cukup banyak putusan pengadian mengenai kealpaan dalam Pasal
359 KUHP. Tinggal bagaimana aparat penegak hukum menggunakan dan
menjalankannya.
YURISPRUDENSI
Minggu, 07 September 2014
Jumat, 22 November 2013
Tuntutan Warisan-Daluarsa
n
Putusan MA RI No. 7 k/Sip/1973, tgl. 27
Februari 1975,” Tidak ada batas waktu daluarsa dalam menggugat harta warisan “.
Tuntutan Provisionil
n
Putusan MA RI No. 1070k /Sip / 1972, tgl. 7
Mei 1973, “Tuntutan provisionil yang tercantum dalam pasal 180 HIR hanyalah
untuk memperoleh tindakan-tindakan sementara selama proses berjalan; tuntutan
provisionil yang mengenai pokok perkara tidak dapat diterima “.
n
Putusan MARI No. 1400k/Sip/1974, tgl. 18
Nopember 1975, “Perbedaan hakim-hakim anggota dalam pemeriksaan tuntutan
provisionil dan dalam pemeriksaan pokok perkara adalah tidak mengakibatkan
batalnya seluruh putusan karena tuntutan provisionil sifatnya mempermudah
pemeriksaan dalam pemutusan pokok perkara”.
n
Putusan MA RI No. 753k/ Sip/ 1973, tgl. 22
April 1975, “Keberatan yang diajukan Penggugat untuk Kasasi; bahwa
Pengadilan Negeri telah menjatuhkan putusan sela yang merupakan putusan
provisionil menyimpang dan melebihi dari surat gugatan, sebab tuntutan
provisionil semacam itu tidak pernah diajukan oleh Penggugat asal, tidak dapat diterima
karena hal itu menyebabkan batalnya putusan judex facti”.
n
Putusan MA RI No. 279k/Sip/1976, tgl. 5 Juli
1976, “Permohonan provisi seharusnya bertujuan agar ada tindakan hakim yang
mengenai pokok perkara; permohonan provisi yang berisikan pokok perkara
harus ditolak”.
Para Pihak Harus Lengkap
n Putusan
MA RI No. 663k/Sip/1971, tgl. 6 Agustus 1971 Jo. Putusan MARI No.
1038k/Sip/1972, tgl. 1 Agustus 1973, “Turut Tergugat adalah seseorang
yang tidak menguasai sesuatu barang akan tetapi demi formalitas gugatan harus
dilibatkan guna dalam petitum sebagai pihak yang tunduk dan taat pada putusan
hakim perdata.”
Ne bis in idem
Unsur-unsur nebis in idem :
- Objek tuntutan sama
- Alasan yang sama
- Subjek gugatan sama
n Putusan
MA RI No. 144 k/Sip/1973, tgl. 27 Juni 1973, “Putusan declaratoir
Pengadilan Negeri mengenai penetapan ahli waris/ warisan bukan merupakan nebis
in idem”.
n Putusan
MA RI No. 102 k/Sip/1968, “Bila ternyata pihak-pihak berbeda dengan
pihak-pihak dalam perkara yang sudah diputus terlebih dahulu, maka tidak ada
nebis in idem”.
Dwangsom (uang paksa), Ps. 225 HIR jo 1267 BW
n Putusan
MA RI No. 307k /Sip/1976, tgl. 7 Desember 1976, “Dwangsom akan ditolak
apabila putusan dapat dilaksanakan dengan eksekusi riil”
n Putusan MA RI No. 79k/Sip/1972, “ Dwangsom
tidak dapat dituntut bersama –sama dengan tuntutan membayar uang”
Hubungan Posita dan Petitum
n Putusan
MARI No. 67 k/Sip/1975, tgl. 13 Mei 1975, “ Petitum tidak sesuai
dengan posita, maka permohonan kasasi dapat diterima dan putusan Pengadilan
Tinggi dan Pengadilan Negeri dibatalkan”.
n Putusan
MA RI No. 556 k/Sip/1971, tgl. 10 November 1971 jo Putusan MA RI No. 1245 k/Sip/1974,tgl. 9 November 1976,
“Putusan yang mengabulkan lebih dari yang dituntut, diizinkan selama hal itu
masih sesuai dengan keadaan materil, asal tidak menyimpang daripada apa yang
dituntut dan putusan yang hanya meminta sebagian saja, sesuai putusan MA No.
339 k/Sip/1969
Langganan:
Postingan (Atom)