Kritik & saran positif silakan di email abd.kholik99@gmail.com / abd.kholik67@yahoo.com

Minggu, 07 September 2014

Yurisprudensi Kealpaan dalam Pasal 359 KUHP

Lebih dari 500 orang meregang nyawa setiap tahun di jalan raya. Pengendara seringkali alpa. Bahkan alpa terhadap ancaman hukuman.

Ada banyak pekerjaan rumah bagi pemerintahan baru, di bawah Joko Widodo dan Jusuf Kalla. Salah satunya membenahi transportasi dengan segala infrastrukturnya. Infrastruktur yang tak memadai, seringkali menggunakan pola kebut proyek, menjadi salah satu penyumbang kecelakaan di jalanan.

Meskipun demikian, faktor manusia jauh lebih menentukan disbanding infrastruktur atau kelaikan kendaraan. Manusialah yang mengendalikan dan mengendarai moda transportasi itu. Sebagian besar karena ulah manusia pula setiap hari nyawa melayang sia-sia di atas jalanan. Mobilitas massal seperti lebaran seolah menjadi ladang penghilangan nyawa.

Bayangkan, saat lebaran 2014 (hingga H+5) saja tercatat tak kurang dari 2.595 kecelakaan, mengakibatkan korban meninggal dunia 598 orang, korban luka berat 831 orang, dan luka ringan 3.270 orang. Jumlahnya sudah pasti bertambah karena angka ini hanya yang tercatat di Posko Lebaran Sehat Kementerian Kesehatan. Lagipula, jumlah ini lebih rendah dibanding tahun sebelumnya.

Lepas dari berapa jumlah pasti korban kecelakaan setiap tahun, yang jelas tak sedikit bermuara ke pengadilan. Di pengadilan, pelaku yang lalai dijerat dengan Pasal 359 KUHP. Bahkan setelah UU Lalu Lintas dan Angkutan Jalan (UU No. 22 Tahun 2009) berlaku pun Pasal 359 KUHP masih sering dipakai polisi dan jaksa.

Pasal 359 KUHP menyatakan: “Barangsiapa karena kesalahannya menyebabkan matinya orang dihukum penjara selama-lamanya lima tahun atau kurungan selama-lamanya satu tahun”. Ini berkaitan dengan Pasal 360 ayat (1) dan (2) dengan akibat yang berbeda. Ayat satu mengenai akibat luka berat, sedangkan ayat (2) akibatnya adalah luka sedemikian rupa. Nomenklatur putusan Mahkamah Agung menggunakan sebutan kealpaan mengakibatkan kematian/luka.

Menurut R. Soesilo (1996), kematian dalam konteks Pasal 359 KUHP tidak dimaksudkan sama sekali oleh pelaku. Kematian tersebut hanya merupakan akibat kurang hati-hati atau lalainya terdakwa (delik culpa). Jika kematian itu dikehendaki terdakwa, maka pasal yang pas adalah 338 atau 340 KUHP.

Menurut SR Sianturi (1983), kealpaan pada dasarnya adalah kekuranghati-hatian atau lalai, kurang waspada, semberono, teledor, kurang menggunakan ingatan, khilaf. Sekiranya dia hati-hati, waspada, tertib atau ingat, peristiwa kecelakaan itu tidak akan terjadi atau bisa dicegah.

Jika dikaitkan dengan teori kesalahan dalam hukum pidana, pertanyaan dasar yang layak dikemukakan adalah siapa yang bersalah dalam kecelakaan lalu lintas. Siapa saja yang dapat dimintai tanggung jawab hukum dalam kecelakaan yang timbul karena kealpaan? Secara kasuistik, cukup banyak putusan pengadilan yang relevan diajukan, dan sopir tak selu pelaku tunggal.

Misalnya, putusan Mahkamah Agung No. 354K/Kr/1980 dan putusan No. 205K/Kr/1980. Dua putusan ini menekankan bahwa kesalahan korban tidak menghapus penuntutan terhadap terdakwa.

Putusan Hoogeraad 15 Februari 1932 juga patut dikemukakan. Menurut yurisprudensi yang dikutip R. Soenarto Soerodibroto (2009) ini, barangsiapa mengendarai sebuah mobil, sedangkan ia tidak dapat memperhitungkan akibat-akibat yang mungkin timbul karena telah minum alcohol terlalu banyak telah berbuat ceroboh dan tidak hati-hati. Pelaku semacam ini dapat dimintai tanggung jawab terhadap akibat yang timbul karena perbuatannya. Salah satu contoh putusan yang relevan dengan kasus ini adalah Afriyani Susanti. Menabrak sejumlah pejalan kaki dan menyebabkan kematian di Jalan Ridwan Rais Jakarta, Afriyani akhirnya divonis 15 tahun penjara.

Dalam perkembangannya, perdamaian pelaku dan keluarganya dengan keluarga korban sudah dianggap sebagai salah satu unsur yang ‘meringankan’. Dalam kasus kecelakaan yang melibatkan anak Menteri Perekonomian (saat itu) Hatta Radjasa dan kasus AQJ, hakim jelas-jelas menempatkan perdamaian pelaku dengan keluarga korban dalam kedudukan yang tinggi.

Dalam putusan Mahkamah Agung No. 1953K/Pid/1988, hakim mengatakan pembayaran ganti kerugian tidak menghapuskan penuntutan kasasi. Dalam putusan kasasi lainnya, No.  202K/Pid/1990, terungkap bahwa hukuman terdakwa diperberat karena mengendarai kendaraan pada malam hari tanpa lampu dan tanpa rem.

Soal kehati-hatian, menarik pula disinggung putusan Mahkamah Agung No. 1104K/Pid/1990. Dalam putusan ini, majelis kasasi mengkoreksi putusan sebelumnya karena menilai terdakwa sudah berhati-hati. Kendaraan yang dikemudikan terdakwa berada pada jalur yang benar, sehingga tak ada unsur kelalaian/kesalahan pada diri terdakwa. Korban jatuh karena terserempet pengendara lain, tetapi karena jatuh ke kanan, korban tergilas mobil yang dikendarai terdakwa.

Dalam putusan No. 1827 K/Pid/1988, Mahkamah Agung bukan hanya menilai kesalahan terdakwa karena kealpaan menyebabkan orang lain mati, tetapi juga pelanggaran berupa ‘pengemudi yang mengemudikan kendaraan di jalan umum tanpa memperhatikan ketentuan tentang perlengkapan’.

Intinya, cukup banyak putusan pengadian mengenai kealpaan dalam Pasal 359 KUHP. Tinggal bagaimana aparat penegak hukum menggunakan dan menjalankannya.

Jumat, 22 November 2013

Tuntutan Warisan-Daluarsa

n  Putusan MA RI No. 7 k/Sip/1973, tgl. 27 Februari 1975,” Tidak ada batas waktu daluarsa dalam menggugat harta warisan “.

Tuntutan Provisionil

n  Putusan MA RI No. 1070k /Sip / 1972, tgl. 7 Mei 1973, “Tuntutan provisionil yang tercantum dalam pasal 180 HIR hanyalah untuk memperoleh tindakan-tindakan sementara selama proses berjalan; tuntutan provisionil yang mengenai pokok perkara tidak dapat diterima “.

n  Putusan MARI No. 1400k/Sip/1974, tgl. 18 Nopember 1975, “Perbedaan hakim-hakim anggota dalam pemeriksaan tuntutan provisionil dan dalam pemeriksaan pokok perkara adalah tidak mengakibatkan batalnya seluruh putusan karena tuntutan provisionil sifatnya mempermudah pemeriksaan dalam pemutusan pokok perkara”.

n  Putusan MA RI No. 753k/ Sip/ 1973, tgl. 22 April 1975, “Keberatan yang diajukan Penggugat untuk Kasasi; bahwa Pengadilan Negeri telah menjatuhkan putusan sela yang merupakan putusan provisionil menyimpang dan melebihi dari surat gugatan, sebab tuntutan provisionil semacam itu tidak pernah diajukan oleh Penggugat asal, tidak dapat diterima karena hal  itu  menyebabkan batalnya putusan judex facti”.

n  Putusan MA RI No. 279k/Sip/1976, tgl. 5 Juli 1976, “Permohonan provisi seharusnya bertujuan agar ada tindakan hakim yang mengenai pokok perkara; permohonan provisi yang berisikan pokok perkara harus ditolak”.





Para Pihak Harus Lengkap

n      Putusan MA RI No. 663k/Sip/1971, tgl. 6 Agustus 1971 Jo. Putusan MARI No. 1038k/Sip/1972, tgl. 1 Agustus 1973, “Turut Tergugat adalah seseorang yang tidak menguasai sesuatu barang akan tetapi demi formalitas gugatan harus dilibatkan guna dalam petitum sebagai pihak yang tunduk dan taat pada putusan hakim perdata.”

Ne bis in idem

Unsur-unsur nebis in idem :
- Objek tuntutan sama
- Alasan yang sama
- Subjek gugatan sama

n  Putusan MA RI No. 144 k/Sip/1973, tgl. 27 Juni 1973, “Putusan declaratoir Pengadilan Negeri mengenai penetapan ahli waris/ warisan bukan merupakan nebis in idem”.

n  Putusan MA RI No. 102 k/Sip/1968, “Bila ternyata pihak-pihak berbeda dengan pihak-pihak dalam perkara yang sudah diputus terlebih dahulu, maka tidak ada nebis in idem”.

Dwangsom (uang paksa), Ps. 225 HIR jo 1267 BW

n  Putusan MA RI No. 307k /Sip/1976, tgl. 7 Desember 1976, “Dwangsom akan ditolak apabila putusan dapat dilaksanakan dengan eksekusi riil

n  Putusan  MA RI No. 79k/Sip/1972, “ Dwangsom tidak dapat dituntut bersama –sama dengan tuntutan membayar uang”

Hubungan Posita dan Petitum

n  Putusan MARI No. 67 k/Sip/1975, tgl. 13 Mei 1975, Petitum tidak sesuai dengan posita, maka permohonan kasasi dapat diterima dan putusan Pengadilan Tinggi dan Pengadilan Negeri dibatalkan”.

n  Putusan MA RI No. 556 k/Sip/1971, tgl. 10 November 1971 jo Putusan MA RI  No. 1245 k/Sip/1974,tgl. 9 November 1976, “Putusan yang mengabulkan lebih dari yang dituntut, diizinkan selama hal itu masih sesuai dengan keadaan materil, asal tidak menyimpang daripada apa yang dituntut dan putusan yang hanya meminta sebagian saja, sesuai putusan MA No. 339 k/Sip/1969